Hasil Seleksi Administrasi Penerimaan Dosen dan Tenaga Kependidikan
- 26 Februari 2023
18 April 2002 – 18 April 2025
Hari ini, tepat 23 tahun yang lalu, bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh spiritual besar: Y.A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita, pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia setelah tidur panjangnya selama lebih dari lima abad. Wafatnya beliau pada Kamis, 18 April 2002 di Rumah Sakit Pluit, Jakarta, bertepatan dengan berlangsungnya Maha Sabha I Konferensi Agung Sangha Indonesia — seakan menjadi penegasan simbolik atas dedikasi hidup beliau bagi penguatan institusi Buddhis nasional.
Y.A. Ashin Jinarakkhita di Vihara Vimala, Bandung
Lahir dengan nama Tee Boan An di Bogor, 23 Januari 1923, beliau menempuh pendidikan tinggi di THS Bandung (sekarang ITB) dan Universiteit Groningen, Belanda. Di Groningen, ia tidak hanya memperdalam ilmu resmi, tetapi juga belajar filsafat, bahasa Sanskrit dan Pali, serta kebatinan di bawah bimbingan Dr. J.E. van de Stok. Kehausan spiritual ini akhirnya membimbing beliau pada jalan Buddha-Dharma.
Sebagai Anagarika, beliau mengorganisasi peringatan Trisuci Waisak secara nasional pertama kali di Borobudur pada 22 Mei 1953. Ini menjadi tonggak penting dalam kebangkitan Buddhisme Indonesia. Dua bulan kemudian, pada 29 Juli 1953, beliau ditahbiskan sebagai samanera dengan nama Thi Cen, mengikuti tradisi Mahayana.
Atas anjuran gurunya, Y.A. Mahabhiksu Pen Ching, beliau melanjutkan pendalaman spiritual ke Burma pada awal 1954. Di sana, beliau menjalani latihan meditasi vipassana yang luar biasa di bawah bimbingan Y.A. Mahasi Sayadaw dan ditahbiskan secara penuh sebagai bhikkhu Theravāda pada April 1954.
Y.A. Ashin Jinarakkhita tidak berpihak pada sekte manapun. "Saya hanya pelayan Buddha," jawabnya kepada Y.A. Dalai Lama saat ditanya aliran yang dianut. Filosofi inklusif ini mencerminkan semangat beliau dalam menyatukan ajaran Mahayana, Theravāda, dan Vajrayāna demi melahirkan wajah Buddhisme yang kontekstual dan relevan bagi Indonesia.
Beliau mendirikan Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) pada 1955 yang kemudian menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Beliau juga menggagas Sangha Suci Indonesia yang berkembang menjadi Maha Sangha Indonesia dan akhirnya Sangha Agung Indonesia (SAI) pada 1974, di mana beliau selalu terpilih sebagai pemimpin tertinggi.
Tidak hanya di dalam negeri, beliau juga aktif dalam forum internasional seperti Chattha Sangayana di Burma (1954–1956), World Fellowship of Buddhists (WFB), dan World Buddhist Sangha Council (WBSC) yang turut beliau dirikan. Beliau juga pernah menjabat sebagai Vice President WBSC dan terakhir menjadi anggota Board of Elders.
Semangat pengabdiannya tidak pernah padam. Beliau berkeliling ke seluruh pelosok negeri untuk membabarkan Dharma, melatih meditasi, membimbing umat, dan mencetak kader-kader monastik.
Sebagai penghargaan atas jasa luar biasa beliau, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra Utama (Keppres R.I. No. 056/TK/2005). Penghargaan tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus 2005 di Istana Negara dan diterima oleh para wakil Sangha Agung Indonesia.
Penghargaan ini merupakan wujud nyata penghormatan negara kepada tokoh spiritual yang tidak hanya membangkitkan kembali agama Buddha di Indonesia, tetapi juga membumikan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
23 tahun telah berlalu sejak kepergian Y.A. Ashin Jinarakkhita, namun jejak perjuangannya tetap hidup di hati umat dan bangsa. Lebih dari sekadar seorang bhikkhu, beliau adalah visioner, reformis, dan pemersatu.
Marilah kita terus meneladani semangat beliau dalam memperjuangkan Dharma yang membebaskan, mendidik, dan memanusiakan — Dharma yang hadir untuk menjawab kebutuhan zaman tanpa kehilangan akar spiritualitasnya.
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Sadhu! Sadhu! Sadhu!